RMOL. Bila dunia Barat punya WikiLeaks, Indonesia punya SasmitoLeaks. Keduanya sama-sama menggemparkan!
Dipimpin aktivis internet Australia, Julian Assange, dan diluncurkan tahun 2006 lalu, WikiLeaks merupakan sebuah organisasi non-profit yang mempublikasikan dokumen rahasia yang diperoleh dari sumber-sumber anonimus.
Adapun SasmitoLeaks adalah istilah yang digunakan untuk menyebut informasi mengenai kejahatan dan kriminalitas di dunia keuangan dan perpajakan Indonesia yang disampaikan mantan pegawai negeri Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro. Kurang lebih setahun terakhir, Sasmito gencar membongkar sejumlah kasus kejahatan perpajakan yang melibatkan pejabat di kementerian ini.
Sedemikian pentingnya materi yang dibocorkan Sasmito itu, sampai-sampai salah seorang tokoh nasional Indonesia yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, merasa perlu untuk menciptakan istilah khusus itu dalam artikelnya yang dimuat di salah satu media cetak di Jakarta hari Selasa ini (29/3).
Mengawali artikelnya, Gus Solah mengutip kegemparan yang ditimbulkan oleh kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat yang dibocorkan WikiLeaks dan menjadi pemberitaan media massa Australia. Dalam dokumen yang dibocorkan itu antara lain disebutkan kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Presiden SBY dan keluarga.
Dalam survei sebuah harian yang dikutip Gus Solah, sebesar 87 persen responden mengau percaya pada informasi itu. Hanya 7 persen yang tidak percaya, adapun 6 persen lainnya mengatakan ragu-ragu.
Sebut Gus Solah, ada informasi lain yang juga menggemparkan seperti informasi yang dibocorkan Wikileaks. Namun, informasi yang dimuat sebuah majalah di Jakarta bulan Februari lalu tersebut seakan luput dari perhatian publik.
Majalah tersebut menurunkan laporan utama yang menjadi cerita sampul berjudul "Patut Diduga" Boediono Lakukan Crime Policy Terkait Pajak Bank Mandiri (BM) Rp 2,2 T. Konon majalah itu habis diborong pihak tertentu.
“Berita itu bukan berita gelap, jelas sumbernya yaitu Sasmito Hadinagoro, Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia. Karena itu informasi itu bisa kita sebut sebagai SasmitoLeaks. Dia ikut rombongan Tokoh Lintas Agama menemui Ketua KPK pada 4 Maret. Disitu Sasmito menyerahkan majalah tersebut kepada KPK. Kita tunggu bagaimana langkah KPK menanggapi laporan itu,” ujar Gus Solah. [guh]
tambahan
Diduga "Menkeu Boediono" melakukan crime policy
KopiOnline (Jakarta) - Dugaan manipulasi pajak besar-besaran Bank Mandiri (BM) senilai Rp 2,2 triliun menyeret nama-nama hebat, mantan Menteri Keuangan Boediono, sekarang Wakil Presiden, dan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo, kini menjabat Ketua BPK. Harian Sinar Harapan (04/10/10) mengutip Sekjen APPI Sasmito Hadinagoro, mengatakan, "Ada crime policy melalui rekayasa sistemik penyisipan pasal, sehingga ada penghapusan pajak senilai Rp 2,2 triliun. Negara, bahkan masih dirugikan dengan pemberian restitusi pajak senilai Rp 363 miliar kepada BM."
Saat itu (2002-2003) Bank Mandiri berencana go public melalui mekanisme IPO (Initial Public Offering – pelepasan saham perdana). Penghapusan tersebut dilakukan untuk merekayasa agar pembayaran pajak Bank Mandiri lebih rendah dari yang semestinya. Ketika bank negara terbesar itu melakukan IPO, untuk membayar pajaknya menggunakan nilai pembukuan bukan nilai pasar. Namun prospektus yang ditawarkan menggunakan nilai pasar agar sahamnya menarik.
Menurut Sasmito, sebagai penguasa yang punya wewenang di bidang pemasukan Negara, mereka (Boediono dan Hadi Purnomo) membuat kebijakan yang seolah-olah dapat dibenarkan secara hukum. Padahal yang terjadi kecerobohan-kecerobohan yang diduga dilakukan dengan sengaja, sehingga membobol keuangan negara. Sebab yang mereka lakukan saat itu penghapusan dirugikan sebesar Rp 2,2 triliun. "Kasus ini jelas big fish, jauh lebih besar ketimbang kasus Gayus Tambunan (GT), tetapi luput dari perhatian penegak hukum," kata Sasmito, pendiri dan ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Keuangan Negara (LPEKN), dalam wawancara dengan GARDA pekan lalu.
Kata Sasmito, fenomena GT terjadi karena dia merasa tidak punya beban melakukan kejahatan pajak, mungkin melihat bos-bosnya di Ditjen Pajak dan Departemen Keuangan berbuat kejahatan (white color crime) yang jauh lebih besar. Apa yang dilakukakn GT hanya kejahatan gratifikasi, menerima imbalan uang sebagai bentuk ucapan terima kasih. Sedangkan yang dilakukan oleh bos-bosnya crime policy (kejahatan kebijakan). Mereka melakukan rekayasa sistemik dalam konteks kejahatan kerah putih untuk membobol keuangan negara.
Pengadilan pajak
BM yang menanggung kewajiban mmbayar pajak sebesar Rp 2,2 triliun, mengajukan keberatan kepada Pengadilan Pajak atas beban pajak yang dikenakan kepadanya. Sebagai layaknya wajib pajak, BM mengajukan keberatan, tanggal 31 Desember 2002, membayar ke kas 50 % dari total jumlah pajak yang ditetapkan, yakni sebesar Rp 1,1 triliun. Namun setelah dilakukan auditing (penghitungan), Direktorat Jenderal Pajak menolak. Perkembangan menjadi lain, ketika terjadi mutasi di lingkungan Departemen Keuangan, termasuk Ditjen Pajak.
Direktur Jenderal Pajak yang baru, Hadi Purnomo (sekarang Ketua BPK), hanya 4 bulan kemudian, menerbitkan keputusan yang membebaskan BM dari kewajiban pajak berjumlah Rp 2,2 triliun. Hadi merujuk keputusannya pada keputusan Menteri Keuangan tahun 2003 yang ketika itu dijabat oleh Boediono, sekarang Wakil Presiden RI, yang menyisipkan pasal 4 A dalam Keputusan Menteri Keuangan pendahulunya, Bambang Subianto. Menurut Sasmito, keputusan tersebut benar-benar aneh dan patut dicurigai telah terjadi crime policy, tetapi lolos dari perhatian aparat hukum.
Padahal dengan menyisipkan pasal 4 A, bank negara terbesar itu bebas dari kewajiban membayar pajak, negara pun kebobolan Rp 2,2 triliun. Ironisnya, sampai akhir Desember 2002, status SKPKB BM yang masih dikenai ketetapan pajak sebanyak itu, hanya dalam tempo 4 bulan mendapatkan restitusi (pengembalian kelebihan bayar pajak penghasilan, red) sebesar Rp 363 miliar.
Sasmito mencermati adanya intellectual fraud (kecerobohan intelektual) di mana kedua pejabat negara tersebut, melalui rekayasa sistemik, menyisipkan pasal 4 A tersebut. Kepmenkeu itu berlaku sejak tanggal ditetapkan, 14 Mei 2003. Sasmito menanyakan kepada para ahli hukum dan pakar-pakar lainnya tentang Kepmenkeu Boediono tersebut. Jawaban mereka, keputusan Boediono seharusnya tidak berlaku bagi ketetapan penghapusan pajak BM. "Tetapi nyatanya, BM dibebaskan dari penetapan pajak Rp 2,2 triliun, bahkan mendapat restitusi," kata Sasmito terheran-heran.
Belakangan, setelah Menteri Keuangan dijabat Yusuf Anwar pasal 4 A yang disisipkan di antara Pasal 4 dan Pasal 5, dihapus dan dikembalikan ketatanan Kepmenkeu sebelumnya. "Jadi Kepmenkeu Boediono itu boleh dibilang surat keputusan sekali pakai, modusnya sama seperti Bank Century, yaitu hanya untuk satu bank saja. Tetapi Boediono membuat kesalahan dalam SK yang menyelipkan Pasal 4 A, disebutkan berlaku sejak tanggal ditetapkan (14 Mei 2003), sedangkan transaksi Bank Mandiri sudah terjadi sebelum itu" kata Sasmito. (GRD/KOP/ed/sy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar