Ketidakpercayaan masyarakat terhadap PSSI makin menjadi ketika tim verifikasi calon ketua umum hanya meloloskan calon dari status quo. Alasan yang dibuat pun terkesan mengada-ada karena tidak murni sesuai statuta FIFA. Hal ini menunjukkan bahwa lingkaran disekitar Nurdin Halid sudah begitu mengakar. Atau mungkin banyak pengurus PSSI bahkan orang-orang diluar PSSI yang lebih peduli dengan kepentingan pribadi dibandingkan keinginan untuk memajukan sepakbola negeri ini. Pernyataan Nurdin Halid tentang masih banyaknya dukungan terhadap dirinya, menunjukkan keyakinan dirinya bahwa sebagian besar pengurus PSSI didaerah memiliki cara pandang yang sama dengan dirinya terhadap PSSI. Lolosnya Nurdin Halid dari proses verifikasi, yang katanya menggunakan pedoman statuta FIFA selain statuta PSSI juga menunjukkan ketidak beranian tim tersebut menentang Nurdin Halid. Bila benar-benar mengacu pada statuta FIFA seharusnya seseorang yang pernah divonis bersalah karena suatu kasus kriminal tidak dapat mencalonkan diri. Penolakan terhadap pencalonan Nurdin sebenarnya pernah dilakukan FIFA pada tahun 2007.
Hasil yang diumumkan tim verifikasi calon ketua umum PSSI ini tentu saja memicu kemarahan dalam wujud gelombang protes yang terjadi di berbagai daerah. Aksi unjuk rasa melalui demo maupun lagu tersaji. Pemerintah pun sedikit bereaksi melalui pernyataan Menpora. Walaupun sikap pemerintah ini dirasa wajar karena PSSI juga harus mengikuti aturan negeri ini, jajaran pengurus PSSI langsung menganggap pemerintah sudah melakukan intervensi. Intervensi pemerintah ini konon katanya tabu bagi sepakbola.
Pengurus PSSI terkesan sangat menghargai FIFA tapi tidak mau mendengarkan suara pemerintah dan rakyat Indonesia. Rasanya tidak tepat kalau menyamakan hubungan PSSI dengan pemerintah, dengan hubungan antara Indonesia dengan Bank Dunia. Nurdin Halid mengatakan bahwa membantu tidak berarti boleh mengintervensi, beliau mengacu pada Bank Dunia yang membantu Indonesia tapi tidak punya hak mengintervensi Indonesia. Posisi pemerintah dalam kasus PSSI adalah mewakili rakyat yang merupakan pemilik sebenarnya dari PSSI, sementara Bank Dunia tentunya sama sekali bukan pemilik Indonesia.
Sebaiknya para pengurus PSSI segera berhenti membingungkan masyarakat pencinta sepakbola. Janganlah selalu berlindung pada statuta PSSI yang merupakan hasil adopsi dari statuta FIFA, namun dengan beberapa modifikasi. Statuta tersebut melarang adanya intervensi pemerintah terhadap PSSI. Sanksi dari intervensi tersebut adalah pembekuan keanggotaan PSSI di FIFA. Sanksi ini tentunya bukan sesuatu yang diharapkan terjadi oleh siapapun, karena itu berarti hak partisipasi Indonesia dalam agenda FIFA akan hilang. Dengan pembekuan maka kita tidak mungkin berpartisipasi dalam piala dunia, olimpiade, Asian Game dan SEA Game untuk cabang sepakbola dan agenda FIFA lainnya. Pastinya tidak berpartisipasi berarti tidak punya peluang jadi juara. Meskipun peluang menjadi juara dari timnas sepakbola kita belakangan ini menjadi sangat kecil bahkan untuk level SEA GAME sekalipun, namun rasanya aneh kalau negeri yang mayoritas penduduknya menyukai sepakbola namun tidak bisa bermain dilevel internasional.
Mengingat sebenarnya target bagi siapapun atau kesebelasan manapun ketika berpartisipasi dalam suatu pertandingan adalah untuk menjadi juara, maka sebenarnya PSSI punya tanggung jawab untuk menghasilkan timnas yang kompetitif. Dengan memiliki timnas yang kompetitif maka kebanggan masyarakat akan kesebelasan nasionalnya akan meningkat, dan diharapkan juga mendorong peningkatan nasionalisme dan rasa persatuan. Sebenarnya bila PSSI memiliki prestasi yang bisa dibanggakan, kemungkinan masyarakat pencinta sepakbola tidak akan terlalu perduli dengan berapa lama ketua umum PSSI menduduki jabatannya. Suporter sepakbola pun rasanya tidak akan terlalu perduli dengan nama atau masa lalu dari sang ketua umum bila timnas kita minimal menjadi yang paling kuat di regional ASEAN dan mampu bersaing dengan tim Asia lainnya.
Merujuk pada tujuan dasar pembentukan PSSI pada tanggal 19 April 1930, yang diprakarsai oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo, yaitu untuk memperkuat persatuan bangsa dan menumbuhkan rasa nasionalisme dan lebih jauhnya untuk menentang penjajahan, maka apa yang terjadi sekarang nampaknya mulai melenceng dari khitah atau tujuan dasar tadi. Sudah terlalu lama PSSI kering prestasi dan kepercayaan. Kini rasanya waktu yang tepat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap PSSI. Jalan terbaik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah melalui regenerasi tanpa kegaduhan. Sudah saatnya Nurdin Halid menunjukkan bahwa dirinya memang mencintai PSSI. Bukti kecintaan bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada orang lain secara kesatria. Kalau pilihan mengundurkan diri diambil oleh Nurdin Halid, tentunya semua pencinta sepakbola dan Menpora serta KONI/KOI akan berterimakasih. Tentunya apapun yang telah dilakukan Nurdin Halid pasti ada sesuatu yang baik, dan masyarakat akan mengenang ini dengan baik. Maka Pak Nurdin sebaiknya dengan legowo memberikan kesempatan pada orang lain untuk memimpin PSSI, dan jangan menunggu rakyat yang kecewa memaksa Bapak turun. Selanjutnya mari kita sama-sama berharap regenerasi di PSSI akan membawa perubahan kearah yang lebih baik. Ketua umum yang baru diharapkan mampu membenahi kepengurusan PSSI. Dengan atmosfir kepengurusan yang lebih dipercaya masyarakat, baik ditingkat pusat maupun daerah maka perbaikan prestasi hanya tinggal masalah waktu.
GILANG RAHMAWAN T
Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Pangan
Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar