INILAH.COM, Jakarta - Sebuah berita menarik terbersit dari Dili ibukota Timor Leste. Berita itu menyangkut prediksi masa depan negara berpenduduk 1,3 juta jiwa tersebut. Ancaman baru bagi RI?
Dengan kekayaan minyak dan gas yang bernilai miliaran dolar AS, Timor Leste diperhitungkan akan menjadi sebuah negara kaya. “Timor Leste akan menjadi seperti ‘gerhana’ yang mewarnai jagat ekonomi regional bahkan global,” kata Jeffrey Sachs, penasehat khusus ekonomi Sekjen PBB.
Pernyataan ini bagi Indonesia cukup menarik dan perlu diantisipasi. Sebab berarti cepat atau lambat akan ‘dikelilingi’ tiga negara kaya tapi kecil yaitu Singapura, Brunei Darussalam dan Timor Leste. Negara kecil tetapi kaya sering kali punya kompleksitas. Negara kecil juga berpotensi menjadi ‘diktator kecil’.
Singapura merupakan contoh konkrit. Bertetangga dengan Singapura bukan hal gampang. Terlebih setelah Singapura menjadi negara termakmur di Asia Tenggara. Singapura sangat super ego-sentris.
Lihat saja bagaimana Singapura tidak segan-segan “mengancam” Indonesia dengan menyediakan fasilitas reparasi kapal-kapal perang dan armada militer AS. Padahal, bukan saja menyinggung Indonesia tetapi menentang kesepakatan ASEAN.
Dalam perjanjian ekstradisi. Singapura ditengarai banyak melindungi pelarian dari Indonesia yang membawa uang panas sehingga tidak mau meneken perjanjian ekstradisi. Penyebabnya dapat diterka. Uang panas dari Indonesia, bisa menjadi dana produktif. Akibatnya Singapura merupakan ‘surga’ bagi orang-orang bemasalah dari Indonesia.
Dalam soal teroris, lain lagi. Singapura kooperatif. Begitu menangkap teroris yang dicurigai punya kaitan dengan (orang) Indonesia, segera mengusirnya ke Tanah Air. Yang bermasalah dia buang ke Indonesia yang membawa keberuntungan dia nikmati sendiri.
Saat pertumbuhan ekonomi RI berjalan di tempat, Singapura semakin agresif mengakuisisi perusahaan keuangan atau perbankan Indonesia. Dalam skala tertentu sebagian besar kekayaan Indonesia sudah dikontrol Singapura. Intinya hubungan RI-Singapura seperti pepatah, ‘dekat di mata jauh di hati’.
Memperkirakan Timor Leste bakal menjadi sahabat seperti Singapura, barangkali kepagian. Tetapi cukup beralasan menguatirkan hal tersebut. Timor Leste bisa saja membuka fasilitas pangkalan militer asing.
Dengan Timor Leste, Indonesia juga punya sejarah hitam. Para founding fathers negara bekas koloni Portugis itu, seperti Xanana Gusmao ataupun Ramos Horta, RI punya masa lalu yang tidak enak.
Memang RI-Timor Leste sudah menanda-tangani pakta rekonsiliasi. Pakta itu merupakan kemenangan karena Timor Leste terpaksa melupakan lembar hitam yang pernah menghiasi hubungan kedua pihak.
Sekalipun secara faktual Indonesia menguasai eks Timor Timur selama 24 tahun (1975-1999) yang katanya banyak pelanggaran HAM dilakukan Indonesia, oleh rekonsiliasi, lembar hitam itu dianggap selesai.
Namun yang tidak boleh dilupakan ketika pakta rekonsiliasi ditanda-tangani, secara ekonomi, status Timor Leste tidak setara Indonesia. Timor Leste butuh bantuan ekonomi.
Secara politis, Timor Leste juga perlu membangun hubungan baik dengan RI. Sebab, berharap Indonesia tidak mendukung gerakan pro RI menentang rezim penguasa disana. Soalnya jumlah mereka secara statistik masih banyak.
Sehingga masuk akal jika pakta rekonsiliasi itu ditanda-tangani pemimpin Timor Leste agar RI bersedia membantu di bidang ekonomi dan politik. Artinya pakta itu tidak didasarkan pada statute rasa saling percaya yang tulus.
Masih banyak hal yang menjadi ancaman kedua negara. Kelak, apabila Timor Leste menjadi sebuah negara kaya, negara kecil ini dapat berbalik sebagai ancaman buat Indonesia.
Siapa Jeffrey Sachs, si peramal tentang Timor Leste? Di Indonesia boleh jadi ia tidak dikenal. Tetapi di Amerika Serikat serta negara-negara miskin di Afrika Hitam, Eropa Timur maupun Amerika Latin, pakar pembangunan global itu sangat tersohor.
Ketenarannya antara lain karena teori ekonominya yang berlawanan arus. Ia termasuk kritikus terhadap Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS. Ketika elit AS menganggap Greenspan, dewanya ekonomi AS, Sachs justru menyalahkannya.
Sachs mencemoh kebijakan Economic Bubble sebagai penyebab krisis global. Ketika kritikannya pertama kali dimuat media, banyak yang tidak percaya. Tetapi situasinya berbalik setelah rakyat dan pemerintah AS merasakan krisis ekonomi paling serius. Krisis ekonomi AS itu menjadi krisis global dan sampai sekarang tak terhentikan.
Kedatangan Sachs di Timor Lests pasti bukan wisata. Timor Leste merdeka dari Indonesia pada 1999, melalui referendum PBB. Selama 3 tahun pimpinan negara Timor Leste di tangan pejabat PBB. Baru di 2002, Timor Leste menjadi negara berdaulat.
Memang tidak disebutkan kapan Timor Leste akan berubah menjadi sebuah negara kaya. Tetapi ini tidak berarti kita tidak perlu antisipatif. Jangan mengabaikan prediksi Jeffrey Sachs.
fyi, GDP per capita Timor-Leste sekarang meningkat pesat hingga USD 2.900 (Indonesia USD 4.300) diatas beberapa propinsi di indonesia, pertumbuhan ekonominya thn 2010 bahkan melebihi indonesia...klo gak percaya lihat di wiki, cia world factbook atau world bank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar