Pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia pada 2010 mencapai 22,39 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dunia sebesar 8,20 persen. Jelaslah negara ini masih berada dalam fase euforia terbang.
Kita belum tahu kapan euforia itu berhenti. Belum tahu di angka persentase berapakah pertumbuhan yang pas untuk 230 juta penduduk. Angkanya masih terus bergerak. Pesawat terus ditambah untuk menerbangkan lebih banyak penduduk.
Namun, di tengah upaya ”mengudarakan” lebih banyak orang, ada pengalaman tak nyaman seperti penundaan penerbangan (delay). Manajemen Lion Air—yang hari-hari ini kerap delay¯pun membuka wawasan kita bahwasanya delay adalah harga mahal pertumbuhan udara yang fantastis itu.
”Kalau mau aman, dapat saja di tiap rute disiapkan pesawat cadangan. Tapi cost-nya, biaya produksinya, terlalu tinggi sehingga pembebanannya ke tarif. Dengan tarif tinggi, tak semua orang mampu terbang. Tak ada itu, Jakarta-Surabaya cuma Rp 350.000,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.
Keterlambatan Lion pun sebenarnya diawali migrasi sistem untuk pelayanan yang lebih baik saat jumlah pilot makin banyak. Kekacauan serupa juga pernah dialami Garuda Indonesia pada November 2010 akibat migrasi sistem.
Lion, dengan 80 pesawat, kini memang merajai kepulauan ini dengan penguasaan 48 persen pasar. Kuncinya, pengoptimalan utilisasi pesawat dengan pengaturan terbang ke sejumlah kota. Namun, delay 10 menit di rute pertama, memicu delay 20 menit di rute kedua. Saling berentet.
Akan tetapi, dalam banyak kasus lain, delay bukan monopoli kesalahan pilot—atau manajemen. Ada banyak faktor penyebab delay. Mulai dari alasan klasik, seperti cuaca buruk hingga kerusakan pesawat tanpa dukungan pesawat cadangan.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, kini delay mulai dipicu keterlambatan awak pesawat. Akar masalahnya, lalu lintas kota yang sulit diprediksi, diperparah tak adanya transportasi massal yang ”bebas hambatan” menuju bandara.
Yang tak dipahami penumpang, terkadang delay akibat keterbatasan bandara. Landasan pacu, runway, yang hanya satu kerap menghambat pergerakan pesawat. Minimnya fasilitas terminal juga memperlambat penumpang naik-turun.
Malang bagi maskapai penerbangan, penumpang tak mau mengerti. Kompensasi makanan dituntut ada. Meski berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, kompensasi disediakan maskapai penerbangan hanya karena maskapai bersalah. Delay karena cuaca buruk mestinya tak membuahkan kompensasi.
Akibatnya, maskapai yang ketiban pulung. Sial. Lima pesawat saja delay, maskapai harus mencari 1.000 paket makanan. Bukan hal mudah. Belum lagi, harus mencari 1.000 kamar hotel. Mungkin penumpang menuding maskapai mencari 1.000 alasan ketika delay. Tapi, delay bukan urusan sederhana, Bung....
padahal nilai paling esensial dari tiket pesawat adalah memperpendek jarak dan waktu dan kepastian waktu keberangkatan adalah hal yg paling utama. alasan seperti keterlambatan awak pesawat dimana masalahnya adalah lalu lintas kota yang sulit diprediksi adalah alasan yg mengada-ada jika dilihat dari segi profesionalisme maskapai. dalam hal ini konsumen adalah pihak yg paling dirugikan dan maskapai selalu berusaha melempar tanggung jawab.
ane pernah mengalami delay 7 jam tanpa kompensasi apapun begitu pula dengan jadwal pesawat yg dibatalkan sehari sebelum keberangkatan tanpa ada solusi dari maskapai bersangkutan. semoga kedepannya akan ada sanksi yg lebih berat kepada maskapai yg sering "mendzolimi" konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar