ane tinggal di sangatta kutai timur kalimantan timur
sangatta itu terkenal salah satunya dengan monster nya yaitu buaya sangatta
buayanya sangat besar2.
pada tanggal 5 maret 2011,
Buaya dengan bobot 400 kilogram ditangkap
Andi Hanan dan beberapa rekannya di Sungai Sangkimah, Desa Sangkimah Lama, Sangatta Selatan, Kutai Timur (Kutim), Sabtu (5/3) sekira pukul 12.00 Wita setelah dipancing dengan kulit kambing.
Warga menangkap buaya itu karena dianggap nakal, sering masuk ke kolong rumah warga. Sungai Sangkimah sendiri paling dikenal dengan buaya ganasnya di Kutim.
Ketika diukur panjangnya 4,3 meter dengan lebar perut 70 cm. Bentang kakinya mencapai 1,5 meter. Moncong mulutnya 80 cm dengan sejumlah taring yang sudah tanggal. Diperkirakan, saat menerkam mangsanya buaya itu menabrak batu atau kayu sehingga taringnya tanggal.
Buaya yang ditangkap itu kini menjadi tontonan warga. Bahkan, sejumlah warga dari Sangatta sampai datang ke sana untuk melihat “monster” sungai paling berbahaya itu. Hingga kemarin masih hidup dan diikat moncong serta kakinya dengan tali plastik. Kemudian, tali itu diikatkan ke pohon kelapa.
Andi Hanan, warga Sangkimah yang menangkap buaya itu mengatakan, ia memutuskan menangkap binatang melata itu karena nakal. “Kalau tidak nakal, tidak makan manusia atau makan ternak, tidak mungkin saya tangkap,” ujarnya.
Menurutnya, banyak laporan dari warga, ayam, kucing, anjing peliharaannya hilang. Dia yakin semuanya dimangsa buaya itu karena sering berada di kolong rumah penduduk untuk menangkap ayam. Tak jarang juga melintang di tengah jalan.
Untuk menangkap buaya itu, Andi Hanan mengaku tidak melakukan ritual khusus, misalnya menaburkan kembang 7 rupa atau memberikan sesaji, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh pawang buaya. “Kalau rapalan doa memang ada,” katanya. Doa itu diucapkan karena kekuatan buaya jauh lebih kuat dibanding manusia.
Andi Hanan menggunakan kulit kambing sebanyak 3 kilo untuk umpan. Mata pancing dari besi yang dibengkokkan. Kemudian, dari mata kail diikat ke kawat lalu disambungkan ke tali plastik. Di ujung tali dipasang jeriken kosong. Dia memancing buaya itu di kolong rumahnya. Kebetulan, rumahnya memang berada di bibir sungai.
Cukup lama umpan kulit kambing untuk menarik minat buaya datang. Pada hari keenam, tepatnya Jumat (4/3) malam, buaya makan umpan dan membawa jeriken lari ke aras hilir sungai. “Saya tidak sanggup kalau malam. Makanya, siang saya tangkap bersama tetangga,” beber Andi Hanan.
Sebelum memakan kulit kambing, buaya itu dipanggil Andi Hanan. Dikatakan kepada buaya itu, ia ingin memberikan makanan. Kulit kambing itu ia gantung di atas air. Setelah buaya itu memakan umpang kulit kambing, Andi juga memerintahkan buaya untuk lari ke bawah atau ke muara.
Penangkapan buaya ganas ini pun bak acara di televisi yang ditayangkan Animal Planet atau National Geografic Channel. Bahkan, bisa saja proses penangkapannya lebih menegangkan. Meski tersangkut mata pancing di mulutnya tetap melawan dengan ganas. Untuk menjinakkannya, badannya ditunggangi di dalam air lalu diikat mulutnya dengan tali plastik. Untuk mengangkat ke darat dilakukan beramai-ramai oleh enam orang.
Meskipun sangat besar serta ganas, Andi Hanan belum bisa memastikan apakan binatang itu sudah pernah memakan manusia atau belum. Pasalnya, dalam sejarah Desa Sangkimah, ada 4 orang yang dimakan buaya, dan baru 3 buaya yang ditangkap. Diperkirakan umur buaya ini sekira 20 tahun.
Buaya yang ditangkap kali ini adalah yang keempat. Namun, dari sisi ukuran, tidak sebesar buaya kedua yang ditangkap dan diawetkan di Museum Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar). Tidak juga lebih besar dari buaya yang ditangkap di Desa Manubar, Maret 2010 lalu. “Tapi di sini masih ada satu buaya yang sangat besar. Panjangnya sekira delapan meter,” kata Andi. Buaya itu sering muncul di muara sungai. Namun, buaya terbesar justru penakut. Tidak pernah membuat masalah dengan manusia dan cenderung menghindar.
Sejak 1999 lalu, sudah ada empat warga yang jadi korban keganasan buaya di Desa Sangkimah. Mereka adalah Ratna yang terjadi tahun 1999, Rahmatia (tahun 2000), Daeng Malewa (tahun 2003) dan Selamet (tahun 2004).
Sampai saat ini, warga masih resah dengan keganasan buaya Sangkimah. Warga tak ada yang berani mandi di sungai yang lebarnya hanya sekira 4 meteran itu. Mereka jika mandi memilih menimba air dari atas sungai. Itu pun, ember yang digunakan menimba air sering diterkam buaya
sumbernya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar